PERTANYAAN:
Bagi masyarakat indonesia yang diturki,
ketika hidup di turki banyak dijumpai aneka mazhab. Misalnya cara
shalat, kebiasaan berdzikir habis shalat, shalat sunnah bersama-sama
sehabis shalat fardlu baru berdzikir. Bagaimana menyikapi perbedaan
mazhab ustadz?
JAWABAN:
Di Turki, madzhab yang dipegang oleh
mayoritas masyarakatnya adalah madzhab Hanafi, seperti juga di
Mesir. Berbeda dengan di Indonesia yang secara umum bermadzhab Syafi’i,
atau di Saudi Arabia yang bermadzhab Hanbali, atau di negara-negara Arab
di Afrika Utara yang bermadzhab Maliki seperti Tunisia, Aljazair, dan
Maroko.
Itu adalah empat madzhab yang
termahsyur, walaupun ada 5 madzhab lain yang juga besar. Masing-masing
madzhab itu berbeda dalam beberapa cara ibadah. Mengapa? Padahal Rasul
kita satu, Qur’an kita satu. Mengapa mereka semua tidak menurut saja
dengan cara ibadah Rasulullah? Jika semuanya berteguh dengan cara-cara
ibadah Rasulullah, harusnya tidak akan berbeda pendapat kan? Lalu untuk
apa ada madzhab yang berbeda-beda? Apakah madzhab-madzhab itu
keberadaannya hanya untuk memecah belah umat saja? Semua persoalan ini
tidak akan terfahami kecuali jika kembali ke pokok ceritanya.
Semua dari Qur’an dan Rasul yang satu
Al-Qur’an turun dalan bahasa Arab.
Salah satu hikmahnya, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling kokoh
dan perbendaharaan katanya paling luas. Misalnya, untuk sebuah kata
‘cerdas’ saja ada 4000 sinonimnya, untuk ‘singa’ ada 500 kata yang bisa
dipakai, apalagi untuk ungkapan-ungkapan sehari-hari. Dengan kekokohan
bahasa ini, ia dipilih Allah sebagai bahasa untuk memediatori
pesan-pesan-Nya. Dan para sahabat Rasulullah adalah manusia-manusia yang
paling menguasai samudera bahasa Arab ini, hingga rahasia-rahasia
sastranya. Sehingga generasi pertama muslim, adalah generasi yang
sangat memahami Qur’an dalam bahasa Arab, ini faktor pertama.
Kedua, mereka hidup bersama Rasulullah,
sehingga mereka mendapatkan langsung tafsiran dan instruksi semua
perintah Qur’an. Itulah yang disebut Sunnah, atau sering disebut Hadist.
Yaitu semua yang berkaitan dengan arahan Rasulullah untuk mempraktikan
Qur’an.
Kedekatan generasi pertama dengan
bahasa Qur’an dan penjelasan Rasul [Sunnah], membuat mereka mudah
memahami inti ajaran Islam. Sehingga misalnya, ketika mereka mendapatkan
sebuah ayat seperti ‘‘kutiba ‘alaikumushhiyâm‘’ secara bahasa artinya, ‘’telah dituliskan untuk kalian puasa’’,
mereka faham bahwa status ayat itu adalah wajib atau ‘puasa wajib bagi
kamu’, ditambah lagi dengan contoh langung Rasulullah yang mereka
saksikan oleh mata kepala sendiri. Qur’an dan Sunnah mencukupi hidup
mereka. Tidak ada yang namanya ilmu Fiqh, atau Akidah, atau ilmu-ilmu
Islam yang kita kenal sekarang, karena semua itu built-in dalam diri
mereka. Bukan karena mereka tidak butuh, tapi karena mereka sudah faham
secara otomatis melalui teks-teks Islam [Qur’an-Sunnah]
Kebutuhan terhadap Madzhab
Dengan berlalu waktu, kemampuan
linguistik untuk memahami sumber asli itu makin berkurang, bagi
anak-cucu generasi sahabat itu. Sehingga mereka tidak lagi mampu
memahami teks-teks Islam [Qur’an-Sunnah] secara langsung. Misalnya, jika
mereka membaca ayat ‘’wa anfiqu fî sabîlillâh’’ [bernafkahlah di jalan Allah], tidak
semua masyarakat muslim tahu status ayat ini, apakah bernafkah itu
wajib, atau sunnah, atau mubah [boleh]? Jika wajib, kapan wajibnya?
Berapa?
Oleh karena itulah mereka merasa
membutuhkan sebuah perangkat. Dan perangkat itu namanya Ilmu Fiqh,
secara ringkas artinya ilmu tentang detail hukum-hukum ibadah, apakah
itu wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram.
Tapi tidak semua mampu merumuskan ilmu
fiqh untuk seluruh Ibadah dalam Islam. Karena ia membutuhkan kepakaran
dalam ilmu bahasa arab, logika, sejarah, hadist, dll. Maka tidak banyak
yang mampu merumuskan ilmu itu.
Yang paling mahsyur dalam menuliskan
ilmu fiqh secara kokoh ada empat, yaitu Imam Malik, imam Hanafi, imam
Syafi’i, dan Imam Hanbali. Keempat imam inilah yang hingga saat ini
banyak diikuti madzhabnya. Bukan karena hanya mereka yang mempunyai
sepaket ilmu fiqh, tapi karena merekalah yang mempunyai metodologi dan
pembahasan fiqh paling komprehensif.
Sejak adanya keempat imam madzhab itu
di abad ke 2 hijriyyah, umat Islam awam lebih mudah mempelajari tata
cara ibadah. Karena mereka hanya tinggal mengikuti arahan-arahan yang
dijelaskan Sang Imam. Dan arahan-arahan itu jelas berdalilkan
hadist-hadist Rasulullah dan bertanggungjawab. Berbeda dengan para
pembelajar khusus, yang mempunyai kemampuan penelaahan. Mereka tidak
terlalu butuh untuk mengikuti arahan-arahan keempat imam itu, karena
mereka mempunyai perangkat untuk mengkaji sendiri.
Pertanyaannya, mengapa para Imam Madzhab itu bisa berbeda? Padahal misalnya Imam Syafii berguru ke Imam Malik selama 9 tahun?
Madzhab Pasti Berbeda
Perbedaan itu ada dalam metodologi
pengkajian mereka. Metodologi itu disebut ilmu Ushul Fiqh. Misalnya,
ayat tentang Salat. Rasulullah menjelaskan tata cara salat sepanjang
hidupnya, berkali-kali, dibanyak kesempatan, di banyak situasi. Sehingga
penjelasan salat itu bervariasi. Hadist-hadist yang berhubungan dengan
salat atau ibadah secara umum itu waris-terwariskan dengan teliti
hingga sampai ke zaman para imam madzhab, bahkan sampai ke zaman kita.
Secara ringkas, masing-masing imam
dalam madzhabnya itu menjelaskan tata cara salat sesuai dengan
hadist-hadist itu. Tapi karena hadist-hasit itu banyak, perbedaan ada
disini. Hadist-hadist yang dijadikan metodologi pembahasan Imam Malik
mungkin berbeda dengan hadist yang diambil Syafi’i, berbeda juga dengan
yang diambil Hanafi dan Hanbali. Disinilah letak perbedaannya. Baik itu
dalam urusan dzikir pasca salat, puasa, haji, qurban, mandi, tidur,
makan, peradilan, politik, ekonomi.
Perbedaan itu ada dalam landasan dalil
yang diambil oleh para Imam Madzhab. Tapi pada dasarnya semua pandangan
setiap imam itu mempunyai dalil, terlepas jika dalil-dalil itu kuat,
logis, atau lemah, tidak akurat, itu lain soal. Tapi saat pembuatan ilmu
fiqh itu, keempat imam madzhab telah berjuang untuk merangkum ajaran
Islam sesuai metodologi pengkajiannya masing-masing.
Relevansi Madzhab di Abad 21
Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik, apakah tata cara ibadah
Islam yang agung yang luas ini hanya terbatas dan terangkum dalam
keempat madzhab itu?
Tentu tidak. Karena ada madzhab-madhzab
lain, misalnya madzhab Adz-Dzhâhiriyyah di Andalus Spayol. Tapi secara
umum, keempat madzhab itulah yang paling mampu menjawab semua persoalan
umat sepanjang zaman.
Saat ini umat Islam secara umum masih
membutuhkan madzhab-madzhab itu. Karena kemampuan memahami sumber-sumber
Islam secara langsung tidak lagi dimiliki oleh umat. Misalnya, seorang
pengusaha yang tidak mempunyai akses dan kemampuan mengkaji
literatur-literatur Islam bahasa Arab, bagaimana dia mencari penjelasan
untuk menjalankan ekonominya sesuai cara Rasul? Apakah ia mencari
terjemahan hadist-hadist secara acak, lalu dari berbagai keterangan
hadist yang berbeda itu, ia memilih yang paling mudah. Apapun hadistnya,
ia mencari hadist yang paling ringan dan cocok dengan keinginannnya.
Ini tidak boleh. Karena artinya ia menjadikan Islam mengikuti seleranya,
bukan mencari arahan yang terbaik lalu mengikutinya.
Sehingga bagi masyarakat umum,
sebaiknya mengikuti salah satu madzhab dan konsisten dengannya. Dan
disini tidak termasuk kedalam kategori taklid buta, karena
madzhab-madhzab yang ada mempunyai landasan-landasan syar’i dalam setiap
pembahasannya. Dari sinilah difahami mengapa bagi komunitas atau
masyarakat negara tertentu memegang satu madzhab dan berbeda dengan
masyarakat di daerah lain.
Dari pandangan ini, maka tidak usah
aneh, jika melihat tata cara ibadah di negara lain berbeda dengan
Indonesia yang mayoritasnya bermadzhab Syafi’i. Karena mungkin saja,
berbedaan itu bersumber dari madzhad mereka yang berbeda, sepereti
Madzhab Hanafi di Turki. Yang diperlukan hanyalah memahami, belajar
menerima perbedaan, belajar mengerti sudut pandang ibadah dari madzhab
lain yang semuanya bersumber dari Rasulullah. Tidak berarti semuanya
benar, karena kebenaran itu hanya satu, tapi bukan manusia yang
menentukan tatacara mana yang paling benar karena memang manusia tidak
akan pernah tahu, hanya Allah Yang Mengetahui mana yang paling benar.
Sikap umat Islam hanyalah berusaha
mencari pandangan yang dirasa paling dekat dengan ibadah Rasulullah.
Jika dikalkulasi dari keempat madzhab yang ada, masih terlalu banyak
persamaan tatacara ibadah dibanding perbendaannya. Terutama
perbedaan-perbedaan itu bukan dalam hal-hal yang pokok, seperti tauhid,
atau dakwah. Perbedaan-perbedaan itu biasanya ada dalam persoalan cabang
yang detail seperti bacaan dzikir yang berbeda-beda versi sesuai hadist
yang dirujuk, atau bacaan salat sebelum al-Fatihah. Bahkan jika salah
satu madzhab salah mengambil dalil dalam salah satu teknik ibadah,
itupun bukan persoalan besar di akhirat Insya Allah, karena Rasulullah
menjelaskan jika pemilihan dalil [ijtihad] itu salah karena dalil itu
tidak terlalu relevan misalnya maka ia mendapat satu pahala, dan jika
benar ia mendapat dua pahala.
Kemungkinan tidak bermadzhab
Bagi sebagian kalangan yang mempunyai
kemampuan mengkaji literatur-literatur asli Islam secara sistematis,
sebaiknya tidak mencukupkan dirinya dengan mengikuti salah satu madzhab
saja, tapi mengkaji setiap detail persoalan ibadah, dan mencari
pandangan yang paling akurat dengan perangkat ilmu yang ia miliki.
Dengan begitu, ia lebih yakin, bahwa ibadah-ibadah yang ia lakukan tidak
sekedar mengikuti kesimpulan yang diambil 13 abad yang lalu oleh para
Imam madzhab, tapi karena ia mengkaji secara ilmiah dalam forum ilmiah,
dalil mana yang terbaik. Oleh karena itulah Hasan al-Banna mengatakan
dalam Kumpulan Risalahnya ‘’Setiap muslim yang belum mencapai
kemampuan telaah terhadap dalil-dalil hukum furu’ (cabang), hendaklah
mengikuti pemimpin agama. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika
-bersamaan dengan sikap mengikutnya ini- ia berusaha semampu yang ia
lakukan untuk mempelajari dalil-dalilnya. Hendaknya ia menerima setiap
masukan yang disertai dengan dalil selama ia percaya dengan kapasitas
orang yang memberi masukan itu. Dan hendaknya ia menyempurnakan
kekurangannya dalam hal ilmu pengetahuan Jika ia termasuk orang pandai,
hingga mencapai derajat penelaah…..perbedaan pendapat dalam masalah
fiqih furu’ (cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah dalam
agama, tidak menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap
mujtahid [yang melakukan ijtihad] mendapatkan pahalanya. Sementara itu,
tidak ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan
khilafiyah dalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena Allah
untuk menuju kepada kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik’’.
Muhammad ELVANDI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Manfaatkan media ini untuk kebaikan...